Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa yang tayang di bioskop Indonesia mulai 22 Mei 2024 mendatang dengan genre drama religi ini seolah memberi gambaran dan kritik tajam pada kemunafikan kehidupan sosial khususnya untuk mereka yang mengeksploitasi agama dengan kepentingan pribadi.
Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa diadaptasi dari Novel berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Mengungkap kejinya kehidupan underground yang biasanya ditutupi dengan gimmick di dalamnya. Topik ini sebenarnya cukup sensitif karena beresiko menyinggung banyak pihak.
Namun Hanung Bramantyo selaku sutradaranya tetap berani melanjutkan agar masyarakat bisa mengambil pelajaran darinya. Ketahui fakta dan pesan di balik tujuan penggarapan film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa sebelum Anda menontonnya.
Daftar Isi
ToggleMengangkat Isu Penting dan Sensitif
“Film ini mengangkat isu penting tapi sensitif. Ini benar-benar saya buat dengan mempertimbangkan kejujuran. Saya ingin sampaikan kritik sosial. Masyarakat bisa berkaca dari film itu. Saya ada semacam marah atas yang terjadi di lingkungan kita. Mereka yang menganggap dirinya baik, pejabat alim gitu ternyata penuh kepalsuan. Bahkan akademi agama yang dipercaya malah terjadi abusive, pelecehan, pembullyan. Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa bercerita tentang itu” ujar Hanung saat jumpa pers di Kuningan, Jakarta Selatan.
Karakter Berlawanan dengan Agama

Meski mengusung genre religi, karakter Kiran (Aghniny Haque) pemeran utama di film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa digambarkan berlawanan dengan agama yakni terjerumus dalam zina dan kehidupan paling gelap usai mendapat kekecewaan, fitnah, dan pengkhianatan berulang kali.
Pencarian jati diri menjadi alasan Kiran melakukannya. Hal ini tentu seringkali ditemukan dalam dunia nyata. Ada juga tentang mulusnya pelarian diri orang-orang kriminal yang dekat dengan penguasa dimana mereka seolah mendapat keistimewaan secara hukum.
Contoh sederhananya ialah seseorang yang memilih lepas hijab setelah bercerai atau merasa disakiti pasangannya, berbuat keji pada pasangan dengan alasan cemburu atau tidak ingin kehilangan, kasus pemerkosaan dan pelecehan yang justru terjadi di pesantren atau dilakukan pemuka agama, hingga poligami dengan alasan sunnah agama yang pada kenyataannya demi nafsu belaka.
Kisah Nyata Korban Kemunafikan Kehidupan Sosial
Beragam kelompok agamis ditampilkan anarkis dan eksploitatif, mungkin bisa menimbulkan amarah berbagai pihak. Pada akhirnya, tim produksi tidak mundur, tetap sampaikan apa adanya dengan pesan bahwa sekecil apapun itu, itulah yang berpotensi timbul di sekitar kita.
Kritik tajam kemunafikan kehidupan sosial juga disampaikan untuk wakil rakyat. Tentang penguasa dan orang-orang yang dekat dengan kalangan atas menyelewengkan kekuasaan demi kepentingan pribadinya.
Hal ini juga sesuai dengan banyaknya kasus yang dialami di negeri ini yang juga ditampilkan di film. Meski sebuah film fiksi, namun isu yang diangkat terasa nyata, terasa dekat dan sering ditemui di sekitar kita. Hal ini ditegaskan oleh M. Dahlan selaku pengarang novelnya.
“Ini sebetulnya kisah nyata, ada orangnya. Seperti di filmnya, orangnya tidak diterima di masyarakat. Ini Awalnya memoir namun pembaca marah kemudian dibuat menjadi sastra sehingga terasa fiksi dan tidak memicu kemarahan, tidak ada yang tersinggung.” Jelas M. Dahlan (18/5) ketika konferensi pers di Jakarta.
Baca juga: Fakta Baru Pembuatan Film Vina: Sebelum 7 Hari, Keluarga Eky Tak Setuju!
Konflik dan Tempat Direkayasa
Kalimat M. Dahlan tidak secara langsung menegaskan isu kehidupan sosial, ia tidak ingin menguak secara langsung. Ia harus memalsukan tiap karakter, tempat, dan merekayasa konflik di sastranya. Akhirnya, film ini memberi pesan bahwa manusia bisa berbuat salah tanpa ada batasan agama atau jabatan dan penonton diajak agar tidak menjadi serupa dengan karakter di filmnya.