Skip to content

Game Free Fire Menjadi Salah Satu Mangsa Blokir Pemerintah, Apa Alasannya?

game free fire

Game Free Fire – Perburuan blokir game di dalam negeri ternyata semakin bringas dilakukan oleh pemerintah. Lestari Moerdijat (Wakil Ketua MPR RI) mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk tidak lagi pandang bulu dalam memblokir berbagai game daring yang di dalamnya mengandung unsur negatif seperti salah satunya kekerasan pada Selasa (30/04).

Saat ini, pihak pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah berupaya keras untuk melakukan pengkajian terhadap rencana pemblokiran masal beberapa game online.

Mengingat kondisinya dianggap mendesak oleh Moerdijat, ia menegaskan bahwa pemerintah harus segera mengambil sikap lebih lanjut sebelum karakter anak bangsa menjadi semakin rusak karena pengaruh buruk game online bermuatan kekerasan.

Indonesia Harus Mengadopsi Aturan Tentang Pembatasan Game Dari Negara Maju

“Pemblokiran aplikasi dan situs harus dilakukan dengan tindakan tegas sesegera mungkin. Terlebih lagi jika bermuatan negatif seperti kekerasan di dalamnya,” ungkap Lestari Moerdijat saat ditemui di Jakarta pada hari Selasa (30/04).

Lebih lanjut menurut penjelasan Moerdijat, Indonesia harus punya taring dan bisa mempelajari hingga mengadopsi aturan pembatasan dan pemblokiran terhadap aplikasi serta situs bermuatan negatif dari negara-negara maju.

Game kekerasan sangat dampaknya sangat fatal, terutama bisa mengganggu proses tumbuh kembang generasi muda. Parahnya lagi, game kekerasan juga mampu merusakan masa depan anak dan bangsa.

Meskipun perkembangan teknologi saat ini memang sangat sulit untuk dikontrol, Moerdijat menjelaskan bahwa pemerintah sebagai penyelenggara negara harus punya cara khusus untuk melakukan pembatasan waktu bermain pada anak-anak.

Baca Juga  Strategi Mobile Legends : Tutorial Kalahkan Marksman Saat Lategame

Game Free Fire Jadi Salah Satu Target Operandi PPPA dan KPAI

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tengah gencar melakukan pemantauan terhadap game-game yang dirasa mempunyai dampak buruk.

Salah satunya adalah game Free Fire yang terus didorong untuk segera diblokir. Mendengar rekomendasi pemblokiran tersebut, Budi Arie Setiadi (Menkominfo) tengah mempertimbangkannya lebih lanjut.

“Jika rekomendasi yang diajukan oleh PPPA dan KPAI punya tujuan baik untuk masa depan anak bangsa, maka akan segera kita blokir,” ucap Budi Arie Setiadi (Menkominfo).

Dasar Penetapan Game Free Fire Dalam Kategori Kekerasan

Game Free Fire secara garis besar memang menunjukkan unsur kekerasan. Yang dimaksud unsur kekerasan tersebut antara lain seperti adegan kekerasan yang dilakukan dengan intens selama bertempur hingga penggunaan senjata.

Meski fakta tersebut sudah sangat cukup untuk digunakan dalam menindaklanjuti proses pemblokiran game Free Fire, namun pemerintah masih memberikan kelonggaran dengan penyajian berdasarkan usia.

Hal itu sudah diatur dengan rinci pada Permenkominfo No 2 Tahun 2024 tentang Klasifikasi Game. Dengan adanya aturan ini, Garena selaku pengembang game Free Fire tidak lagi merasa khawatir akan keputusan pemblokiran.

“Berdasarkan aturan yang ada di dalam Permenkominfo, jika Garena sudah menindaklanjuti klasifikasi usia pada game Free Fire, maka tidak perlu lagi merasa khawatir terhadap resiko pemblokiran yang hendak dilakukan pemerintah”.

Solusi Terbaik Untuk Mencegah Dampak Buruk Game Bermuatan Negatif

Game bermuatan negatif seperti salah satunya kekerasan, memang bisa menciptakan pengaruh buruk secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, sebagai solusi terbaik pemerintah melalui Kemenkominfo mencoba dan bekerja keras untuk menertibkan ruang digital sebagai salah satu tugas serta tanggung jawab pada lingkup teknologi.

Baca Juga  7 Trik Tersembunyi Stardew Valley, Lebih Dari Sekedar Bertani

Baca juga: 7 Game Offline Android Siap Menghibur Kapanpun, Seru dan Gratis!

“Maka dari itu, sangat dibutuhkan kerja sama dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah pelik ini, baik itu dari lingkungan keluarga, sosial, lembaga pemerhati anak hingga pemerintah,” tutup Moerdijat.

Komentar