Layanan internet yang disediakan oleh bos Space X, Starlink masih menjadi topik pembicaraan menarik di kalangan masyarakat Indonesia. Melalui sambungan berupa satelit, masyarakat bisa menikmati layanan internet dengan kecepatan tinggi.
Baru-baru ini, penawaran harga yang dibanderol oleh Starlink dinilai akan berdampak pada mati surinya perusahaan penyedia layanan operator telekomunikasi di dalam negeri.
Kekhawatiran tersebut disampaikan langsung oleh Sigit Jatiputro selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (ASSI) pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan di kantor KPPU Jakarta pada hari Rabu (29/05).
Yang cukup menyorot perhatian adalah penetapan harga Starlink di Indonesia jauh lebih murah dibanding dengan harga di negara asalnya, Amerika Serikat.
Baca juga: 2 Cara Mudah Memulihkan Diri Dari Penalti Google
Daftar Isi
ToggleDaftar Perbandingan Harga Layanan Starlink di Indonesia vs Amerika Serikat
Di Indonesia, Starlink membanderol paket terendahnya yakni Residensial dengan harga Rp 750 ribu. Harga tersebut di luar perangkat penunjang layanan yang dibanderol dengan harga Rp 7,8 juta. Di mana saat ini sedang ada penawaran diskon hingga 40% menjadi Rp 4,68 juta saja. Paket yang sama, di Amerika Serikat dibanderol Rp 1,9 juta dan paket penunjangnya Rp 9,7 juta.
Sedangkan untuk paket bisnis di Indonesia dikenakan biaya Rp 1,1 juta dengan perangkat penunjang Rp 7,8 juta per bulan dan di Amerika Serikat berkisar Rp 2,2 juta dengan perangkat penunjang Rp 40 juta per bulan.
Mengancam Keberlangsungan Bisnis Operator Telekomunikasi Lokal

Menurut keterangan langsung yang disampaikan oleh Sigit Jatiputro Sekjen Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (ASSI) bahwa harga layanan yang ditawarkan oleh Starlink jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh layanan VSAT lokal.
Bisa diambil contoh dari salah satu layanan VSAT dalam negeri yang disediakan oleh MangoeSky, harga layanan terbawahnya adalah Rp 3,6 juta. Sementara untuk Starlink, ditawarkan dengan harga mulai Rp 750 ribuan saja.
Fakta ini tentu akan sangat berdampak pada keberlangsungan bisnis VSAT dalam negeri baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
“Menurut pendapat saya pribadi, existing player Indonesia khusus pada segmen VSAT secara perlahan namun pasti akan mengalami penurunan besar-besaran, meskipun keberadaan Starlink masih tergolong baru di pasar dalam negeri. Harga murah yang tidak masuk akal menciptakan gejolak besar bagi para pemain existing sehingga tak ada lagi ruang untuk mereka bertumbuh,” ungkap Sigit.
Dalam hal ini, Starlink dituding melakukan praktik tidak pantas yakni memonopoli pasar dengan cara predatory pricing.
Mengenal Predatory Pricing
Predatory Pricing merupakan strategi yang seringkali digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar dan dominan di suatu pasar dengan tujuan utama untuk menurunkan harga sementara dalam waktu ke level di bawah biaya mereka sendiri maupun di bawah harga pesaing, sehingga lambat laun bisa menghancurkan bisnis para pesaing sehingga secara perlahan mereka bisa tersingkir dari perdagangan pasar.
Setelah pesaing tersingkir, secara bertahap perusahaan pelaku predatory pricing akan mulai menaikkan harga untuk menutup kerugiannya dan berpotensi memonopoli pasar. Praktik semacam ini pada umumnya dianggap anti-persaingan dan seringkali ilegal karena bertolak belakang dengan peraturan undang-undang persaingan usaha di banyak negara.
Ide utamanya adalah dengan memotong harga pesaing, perusahaan predator pricing dapat memperoleh posisi dominan di pasar, sehingga mengurangi persaingan dan berpotensi menaikkan harga bagi konsumen dalam jangka panjang.
Respon dari Pihak PT Starlink Services Indonesia
Krishna Vesa dan Verry Iskandar selaku Tim Hukum dari PT Starlink Services Indonesia menegaskan bahwa pihak mereka tidak melakukan upaya predatory pricing karena harga jual Starlink di pasar dalam negeri Indonesia masih dalam kategori aman. Pihaknya membantah tidak ada unsur seperti itu di dalam penyelenggaraan bisnis Starlink di Indonesia.